Home » , , » Lembah Sunyi Mandalawangi Gunung Pangrango

Lembah Sunyi Mandalawangi Gunung Pangrango

PENDAKIAN GUNUNG PANGRANGO - 3019 MDPL
SUKABUMI - JAWA BARAT
20 s.d 21 Oktober 2019

DAGRINIZARBLOGSPOT.COM - SUKABUMI, Mendengar nama Gunung Pangrango, pastilah tidak akan terlepas dengan nama Gunung Gede. Kedua Gunung yang begitu tersohor namanya di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Kedua Gunung yang masih dalam satu rangkaian pegunungan namun terpisah menjadi dua ketinggian yang cukup berjauhan. Keduanya terlihat indah dan megah berdiri tegak menjulang ditengah kepadatan tiga Kabupaten yang mengapitnya yaitu, Kab. Bogor, Kab. Cianjur dan Kab. Sukabumi. Dua gunung yang menjadi kebanggaan warga Jawa Barat dan menjadi ikon destinasi Wisata Alam dan kawasan konservasi yang telah diakui oleh pemerintah dan telah menjadi Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Bibir Kawah Puncak Gunung Gede
Keberadaan dua gunung ini memberikan pengaruh besar terhadap iklim di tiga daerah di sekitarnya. Hawa sejuk mutlak mendominasi seluruh pegunungan bahkan sampai ke perkotaan. Tidak heran Kota Bogor, Sukabumi dan Cianjur terkenal dengan hawa sejuknya meskipun disiang hari. Lereng kedua gunung inilah yang membentuk kawasan puncak bogor yang penuh dengan keindahan. Hamparan kebun teh yang asri, yang hampir menutupi seluruh ruas pegunungan. Jejeran villa dan cottage tertata apik di tengah hijau rimbun hutan cemara. Puncak Bogor dengan sejuta panoramanya mengundang siapa saja untuk merasakan keasrian kebun kebun teh yang harum mewangi. 

 Lokasi Gunung Pangrango

Alhamdulillah. Puji Syukur kepada Sang Khalik yang telah memperkenankan saya untuk menapaki Salah satu pilar bumi di Jawa Barat yaitu Gunung Gede. Tiada yang bisa terungkapkan selain Syukur yang tak terhingga. Engkau masih memberikan saya kekuatan untuk dapat menapaki salah satu puncak tertinggimu. Semoga langkah ini terasa ringan untuk memijakkan kaki di ketinggian selanjutnya yaitu Gunung Pangrango.
Puncak Pangrango dari Puncak Gede
Berdiri tegak menjulang bak kubah raksasa di bawah kaki langit biru. Gunung Pangrango siap menanti kedatangan kami..Ia tampak sendiri di antara riuh keramaian di Puncak Gunung Gede saat itu. Ia seperti menyediri di atas belantara dan tetap memberikan pesona tampilan kepada “saudaranya” yang selalu ramai saja oleh kemeriahan. Meski terasa sepi, namun Pangrango adalah bagian terindah dari Gede. Keduanya adalah simpul yang tidak terpisahkan. Keindahan keduanya adalah anugerah dari Sang Pencipta untuk Tanah Sunda, Untuk Indonesia.
Menyusuri Bibir Kawah Puncak Gede
Untuk pendakian ke Puncak Gede, banyak alternative perjalanan yang dipilih oleh para pendaki untuk kembali pulang. Kebanyakan pendaki memilih kembali ke Surya Kencana lalu seterusnya turun melalui Gunung Putri. Beberapa pendaki juga memilih jalur cibodas untuk perjalanan kembali. Ini sudah terlihat saat di puncak gede, jika pendaki hanya membawa perlengkapan seadanya, berarti mereka akan turun kembali ke Surya Kencana. Dan apabila pendaki membawa semua perlengkapannya dalam carrier berarti mereka akan melintas bibir kawah untuk ke Pos Kandang Badak lalu pulang melalui cibodas atau meneruskan perjalanan ke Puncak Pangrango.
<<Baca Juga : Pendakian Gunung Arjuno>>
Bibir Kawah Puncak Gede
Perjalanan akan kami teruskan melalui bibir kawah untuk menuju Pos Kandang Badak. Melintasi bibir kawah bukan perjalanan yang mudah, disisi kiri dan kanan merupakan jurang sang luar biasa dalam. Selain itu jalur akan berpijak pada kerikil pasir yang perlu kehati hatian saat berinjak diatasnya, karena pendaki bisa saja tergelincir. 
Jalur Menyusuri Bibir Kawah
Di sepanjang bibir kawah terpasang pagar sebagai batas pergerakan agar tidak terlalu dekat dengan ujung kawah. Perjalanan akan terus menurun dengan medan yang terbuka dan sedikit berdebu jika dilalui banyak orang.
Pemandangan Alun Alun Surya Kencana dari Puncak Gunung Gede
Memandang ke selatan, masih terlihat alun alun Surya Kencana dengan padang edelweissnya. Puluhan tenda tampak masih tersisa disana. Sepertinya keramainan Surya Kencana akan berlanjut nanti malam. Pastinya akan banyak lagi cerita seru, seperti halnya yang kami alami semalam.
Sesekali kami berpapasan dengan puluhan pendaki yang akan menuju puncak gede. Mereka melalui jalur cobodas dan semalam pastinya menginap di Pos Kandang Badak di bawah sana.
Sekitar 10 menit menuruni jalan ini, sampailah kami di batas vegetasi yang ditandai dengan rimbunnya pepohonan. Di tempat ini juga terdapat lagi sebuah warung dan yang dijajakan persis sama dengan warung-warung yang sudah kami lewati.
Menuruni Bukit, Menuju Pos Kandang Badak
Sesudah melalui batas vegetasi, perjalanan akan semakin menurun terjal. Pepohonan rimbun dan udara sejuk mengantarkan kami perpijak perlahan di jalur akar dan ranting-ranting pohon yang banyak menutupi jalan. Para pendaki harus berhati-hati melalui jalur ini. Meskipun jalur menurun, namun resiko akan sangat besar terjadi jika tidak konsentrasi dalam mencari pijakan yang tepat. Pohon-pohon setengah melintang dan akar-akar tunggang yang merambat di tengah jalur menjadi rintangan yang memperlambat pergerakan. Pendaki tidak perlu terburu-buru untuk segera sampai di tujuan. Perkuatlah lutut dan tumpuan anda serta genggamlah pegangan seerat-eratnya agar jalan menurun tidak menyulitkan.

JALUR TANJAKAN SETAN
Jalur Tanjakan Setan
Sekitar 1 jam kemudian, terlihat dibawah sana puluhan pendaki sedang tertahan di celah jalan. Sepertinya inilah jalur yang banyak diceritakan para pendaki. Salah satu tantangan yang sangat ekstrim untuk dilalui. Bentuk jalan yang menyerupai sebuah tebing dengan elevasi hampair 80 derajad. Jalur yang seluruhnya merupakan batu cadas ditengah medan yang dipenuhi akar pohon.
<<Baca Juga : Pendakian Gunung Welirang>>
Menuruni Jalur Tanjakan Setan
Jalur inilah yang disebut “Tanjakan Setan” entah darimana nama itu diambil..? Mungkin saking ekstrim dan berbahaya sehingga nama itu menjadi julukan tempat ini. Para pendaki yang sudah banyak tertahan sejak tadi mulai bergiliran untuk turun. Beberapa tambatan sudah terpasang dari bebagai sudut. Tambatan ini berupa webbing dan carmantel yang sengaja dipasang oleh pengelola untuk memudahkan proses turun dan naik para pendaki yang akan melintasi jalur tanjakan setan ini.
Meniti Tali di Jalur Tanjakan Setan
Perlahan dan tetap fokus, itulah yang dilakukan saat menuruni jalur tebing ini. Titian tali digenggam seerat eratnya, kaki bertumpu pada pijakan yang tepat. Pandangan mata terus tertuju pada pijakan dan pegangan selanjutnya. Keseimbangan badan terus dijaga mengingat carrier yang masih bertengger mengikat di pundak. Bergiliran kami melakukannya sambil sesekali menuntun teman yang sedang beriringan menuruni batu cadas ini.

Seakan kami sedang menuju ke sebuah jurang yang entah sampai kedalaman berapa.. Cukup lama kami berkutat dititian ini. Berposisi terbalik dan Berjalan mundur menurun. Cukup lama waktu yang dilalui disini. Entah sampai berapa lama lagi,, dalam pikirku bertanya-tanya.

Terlihat beberapa rekan masih merangkak turun perlahan. Cukup berhati-hati kami menuruninya, karena beberapa pijakan batu banyak dipenuhi lumut dipermukaannya. Puluhan tambatan malang melintang ditengah jalur. Silih berganti tangan berpegang pada tambatan-tambatan ini. Jika tidak ada tali ini, pastilah pendaki akan kesulitan menuruni bongkahan batu ini. Bahkan bisa terjadi hal-hal fatal yang tentunya kita tidak inginkan.

Salah satu anggota tim kami yaitu Mba Amy sangat terlihat kewalahan. Ia agak sulit berbijak karena kakinya sempat terkilir saat dijalur kerikil diatas sana. Dibantu oleh Mas Subary yang memang adalah suaminya sendiri. Ia melangkah perlahan dari pijakan satu ke pijakan selanjutnya. Sesekali beristirahat di tengah jalur terbing kemudian dengan penuh semangat langkah pun dilanjutkan kembali. Apapun yang terjadi di tengah alam terbuka merupakan resiko yang harus pendaki hadapi. Bagaimanapun situasinya, jika mental dan semangat masih membara, apapun secara perlahan bisa dilalui.
Menuruni Jalur Tanjakan Setan
Napas terengah-engah dan jantung berdetak kencang. Rasa was-was tak terhindarkan saat melihat curamnya jalur menurun ini. Hingga akhirnya jauh dibawah sana terlihat puluhan pendaki yang sepertinya sedang antri menunggu giliran naik. Tampaknya mereka menunggu hingga seluruh anggota tim kami sampai diujung jalan ini. Sesekali mereka berteriak sambil memberikan isyarat kepada pendaki yang tertahan di ujung atas tanjakan ini agar menahan langkahnya. Ini dilakukan agar pendaki yang ada dibawah diberikan giliran untuk menanjak. Pengaturan seperti ini sepertinya sudah spontan terjadi di jalur ini jika terjadi kepadatan manusia. Ibarat di jalur lalu lintas puncak bogor diberlakukan sistim “buka tutup” saat kepadatan terjadi.

Lepas beberapa menit dari Jalur Tanjakan Setan, setapak akan mulai landai dengan model jalan yang terbuka dan tidak terdapat lagi pohon tumbang serta akar-akar pohon di tengah jalan. Lega rasanya perasaan kami setelah melewati tanjakan setan tadi. Hampir 30 menit kami menghabiskan waktu berjubel dengan tali dan tumpuan batu. Akhirnya langkah mulai teratur seiring jalan yang menurun landai. Kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang baru akan menuju Puncak Gede. Sambil mengatur napas mereka bertanya..”Puncak Masih Jauh Kang”…..”Masih Jauuuh”. Balasku…

Disaat waktu yang hampir menunjukkan pukul 15.00 sore, ternyata masih ada juga yang akan ke puncak..Pikirku...Apakah mereka tidak akan kemalaman nantinya..?? Mudah-mudahan saja mereka akan sampai ditujuan dan kembali sebelum gelap tiba.

Sebuah pohon melintang menjadi tempat ku bersandar kala menunggu rekan-rekanku yang masih tertinggal di belakang. Sebatang rokok pun kuhisap sambil menengadah di alam bebas. Sempat ku tertidur namun tak lama sebuah suara lembut terucap dari dua orang gadis yang ditemani tiga orang lelaki. “Udah dekat kok bang…tuh..pos dibawah sana”. Masha Allah..begitu terucap dalam hatiku. “Ditengah hari yang beranjak sore, ternyata masih ada “bunga bunga” yang masih melintas”. HHMMMM
=============================================
POS KANDANG BADAK
Pos Kandang Badak
Ternyata memang benar, semakin kami menurun, terdengarlah suara keramaian manusia dibawah sana. Wuiiiih.….Gilaa..…Seperti ada Unjuk Rasa…..Banyaaaak beneer manusia saat itu…..Terlihat tenda-tenda bertebaran dimana-mana….suara riuh ramai manusia saling bersahut sahutan. Ada yang tertawa terbahak-bahak, ada yang teriak teriak, ada yang kegirangan, ada yang menyanyi nyanyi. Pokokne ramaiii buangeetts….

Inilah yang disebut dengan Pos Kandang Badak, yang merupakan pos terakhir sebelum ke Gunung Gede dan Gunung Pangrango dari arah Cibodas..Tempat ini berada di sebuah lembah yang sangat lembab dan rimbun. Pepohonan besar menjulang tinggi menutupi Pos Kandang Badak ini. Area kandang badak berbentuk seperti traf atau tingkatan, sehingga dapat menampung puluhan tenda…
Musholah di Pos Kandang Badak
Di salah satu sudut pos kandang badak, terdapat sebuah bangunan tua yang terlihat tidak terawat. Dahulunya bangunan ini merupakan Shelter pendaki yang juga digunakan sebagai pos penjagaan taman nasional. Namun seiring perjalanan waktu, bangunan ini sudah usang dan terlihat keropos. Disekelilingnya sudah banyak ditumbuhi lumut. Namun, belakangan, tempat ini dimanfaakan pendaki untuk menginap dan juga dijadikan sebagai musholah.
Toilet di Pos Kandang Badak
Tepat di samping shelter, terdapan fasilitas yang disediakan oleh pengelola. Sebuah toilet tampak masih terawat. Banyak pendaki yang memanfaatkan fasilitas ini untuk aktifitas MCK. Ketersediaan air juga sangat melimpah di area ini baik untuk digunakan bersih-bersih, memasak dan berwudhu. Untuk keberlangsungan pemeliharaan toilet ini, terdapat sebuah kotak sumbangan yang bisa diisi seikhlasnya.
Sumber Air di Pos Kandang Badak
Terdapat tiga titik air di Pos ini. Semunya berbentuk pipa yang terhubung oleh mata air di atas bukit sana. Air ini terus mengalir dan pastinya bisa menghidupi semua pendaki di kandang badak ini. Tidak seperti di Surya Kencana. Kebersihan di titik air sangat terjaga. Ini terlihat dari tidak adanya kotoran yang berhamburan di sekitarnya.
Puncak Pangrango dari Pos Kandang Badak
Hatiku sempat terhenyak saat melihat Puncak Pangrango dari Pos Kandang Badak. Begitu tinggi dan begitu menjulang. Kubayangkan jalur yang akan saya lewati besok dengan sisa sisa tenaga yang sudah terkuras saat pendakian ke puncak gede. Semoga langkah ini tetap kuat menapaki jalur yang menurut cerita sangat ekstrim.
Keramaian di Pos Kandang Badak
Saat kami tiba, kebanyakan pendaki terlihat baru juga turun dari puncak gede. kebanyakan mereka hanya istirahat sejenak ditempat ini dan akan pulang melewati jalur cibodas. Suasana keramaian masih tetap nampak hingga pukul 15.30 Sore..Mulai saat itu para pendaki berangsur-angsur meninggalkan tempat ini.
Keramaian Pendaki di Pos Kandang Badak
Berbagai macam bahasa dan dialek saya dengar di tempat ini. Semuanya seperti membaur dalam suasana keakraban meski baru pertama berjumpa. Suasana seperti inilah yang mempersatukan kami. Begitulah makna yang hakiki dari pencinta alam yaitu persaudaraan dan kebersamaan. Seperti tiada batasan, semuanya penuh rasa kekeluargaan dan tetap saling menghargai.

Sempat terpikir di Kandang badak ini banyak Badak berkeliaran atau ada bangunan Kandang untuk Badak, tapi ku perhatikan disekitar tidak ada sama sekali yang berhubungan dengan Badak. Mungkin saja pada masa lalu disini memang tempat penampungan badak…atauuuuu..…Entahlah…??!
Tim Pendaki
(dari Kiri : Pak Rahmat, Mas Ari, Kaka Ros, Om Dagri, Mba Amy, Mas Ahmad, Mas Subari)
Akhirnyaa… saya harus berpisah dengan rekan-rekan dari jakarta. Perjalanan sejak dari gunung putri sampai di tempat ini benar-benar sangat berkesan bagi saya yang menemukan teman-teman baru di pendakian. Begitu banyak cerita yang kami lewati sepanjang langkah. Semoga dilain waktu kita akan bersua kembali. Esok hari masih ada perjalanan ke Puncak pangrango sehingga saya masih harus bermalam ditempat ini. Sementara rekan-rekan dari Jakarta akan kembali sore itu juga ke cibodas.

Tinggallah saya seorang diri, namun tentu tidak sendiri. Masih banyak orang berhamburan di tempat ini. Masih banyak terdengar gelak tawa di berbagai sudut kandang badak ini. Namun, keriuhan itu perlahan mulai sepi seiring waktu yang memasuki petang. Dari balik tirai tenda ,kulihat iring-iringan rombongan pendaki mulai berlalu dari tempat ini. Satu per satu tenda yang tadinya mewarnai area ini, lenyap berganti latar semula.
Warung di Pos Kandang Badak
Sepi….itulah yang mulai kurasakan. Kumulai berkeliling sambil berkenalan dengan beberapa pendaki yang sedang berkemas kemas untuk pulang. Sampai akhirnya aku menghampiri sebuah warung yang berada didepan tenda saya. Kuajak cerita akang pemiliknya. Segelas kopi yang kupesan sebelumnya menemani obrolan ringan kita. Singkat cerita..Harapku pun sirna saat mendengar akangnya pun juga akan pulang ke cibodas sore itu. Tak hanya dia, pemilik warung yang lainnya pun akan melakukan hal yang sama. Lengkap sudah kesepian yang akan kurasa malam ini.

Maka, tidak ada pilihan lain. Kupesanlah segera Pop mie hangat, dan beberapa gorengan yang masih tersisa. Tak lupa kuminta agar air panasnya diperbanyak. Segera kubawa ke tenda pesananku itu. Kutambahkan lagi sebungkus supermi di dalam gelas pop mie. Lalu kututup rapat.

SEPI........ DI POS KANDANG BADAK
Malam akhirnya datang juga. Cahaya mentari sudah lenyap beberapa saat lalu. Saya masih berkutat melawan dingin yang merasuk kedalam tubuh meski semua pelapis badan sudah kukenakan. Keheningan malam itu mulai terasa. Hanya terdengar beberapa orang saja yang bersuara malam itu. Entah apakah mereka akan menginap atau sedang bersiap siap juga untuk pulang. Maka, kubulatkanlah tekatku dan kusiapkan mentalku, jika malam ini saya benar-benar akan seorang diri di tengah lembah yang sunyi ini. Seketika itu, saya sudah tidak perduli lagi jikalau orang-orang yang bersuara itu juga akan meninggalkan tempat ini.

Berisik suara cabang-cabang pohon yang diterpa angin sontak menyadarkan aku yang sudah terlelap. Hari ternyata sudah gelap gulita. Nyala senter yang menerangi sejak tadi mulai meredup. Sesaat kemudian terdengar suara seperti puluhan orang sedang melangkah mendekat. Bunyi pijakan sepatu sangat jelas terdengar di tengah kesunyian malam. Kubuka sedikit tirai tenda. Dengan rasa penasaran perlahan kulihat mereka sudah berada dekat dengan tenda saya. Bulu kuduk pun sempat merinding, menghayalkan sosok-sosok gaib yang banyak diceritakan orang sering muncul di tempat ini. Tapi hatiku tetap yakin mereka adalah insan yang sama seperti saya. Hati terus bertanya Tanya dan bimbang. Sampai akhirnya kupastikan mereka adalah pendaki. Huuuuhhh…..Jantung ini hamper mau copot.

Sedkit menguping obrolan mereka yang ternyata kemalaman tiba karena beberapa kali istirahat di tengah jalan. Lega rasanya. Akhirnya aku tidak sendiri malam ini. Saking senangnya, segera kusantap pop mie dingin yang sudah membengkak sejak sore tadi, ditambah dengan nasi uduk yang saya beli di Surya Kencana tadi pagi. Tak perduli makanan ini seperti beku, yang penting resah saya sudah terobati.

Sebotol air pun kucampur dengan kopi susu sacshet. Kokocok sampai semuanya tercampur. Tak ada air panas malam itu, karena memang saya tidak membawa kompor ataupun nesting. Berbekal seadanya untuk modal semalam rasanya cukup untuk bertahan hidup malam ini. Sepertinya kantuk ini tidak terasa lagi. Senang bercampur bahagia tatkala suara keramaian disekitar tenda saya mulai terdengar. Beberapa saat kemudian datang lagi rombongan pendaki yang berhasil menembus malam untuk sampai di Pos ini.


Suara lolongan anjing atau entah binatang apa yang sejak saat sepi tadi bersahut sahutan, sudah aku tidak perduli seiring suasana malam yang semakin riuh oleh gelak canda tawa para pendaki yang baru saja tiba. Cukup kenyang juga aku rasa menyantap menu dingin tersebut. Beberapa batang rokok juga sudah selesai kuhisap bersama beberapa teguk kopi susu dingin.

MENUJU PUNCAK PANGRANGO
Kubuka mata yang sempat terpejam beberapa jam. Dari dalam tenda, kulihat sudah terang diluar sana. Alhamdulillah….kuucapkan berulang ulang… Malam yang penuh was was pun akhirnya terlewati. Cukup cerah pagi ini, dan semoga hari ini membawa berkah bagi saya. Tidak ada satu pun yang kupikirkan pagi itu selain segera sampai ke Puncak Pangrango.
Segalanya sudah siap….semua barang-barang kuamankan dalam tenda. Dengan ucapan Bismillahirrahmani Rohim, dimulailah perjalanan ke Puncak Pangrango.
Jalur Awal Menuju Puncak Pangrango
Mengawali rute ke puncak, kita akan disuguhkan jalur landai dan terbuka. Hutan rimbun dengan pepohonan menjulang mengapit setapak ini. Terbuka dan landai…!! Mmmmm….Awal yang bagus..!!. Semoga saja sampai ke puncak, jalur tetap seperti ini….Begitu harapku dalam hati… Sempat saya berpapasan dengan beberapa pendaki di kandang badak yang sepertinya akan menuju ke puncak, tapi sayang, mereka akan ke puncak gede, bukan ke pangrango. Tak apalah. Memang sudah takdirku untuk berjalan seorang diri
Melalui Jalur Pohon Tumbang
Aku pun terrus berlalu meninggalkan keramaian di kandang badak. Ternyata hanya sekitar 100 meter saja bonus jalan terbuka. Setelahnya…pohon-pohon rebah yang melintang sepanjang jalan siap menanti…Setapak ini, memang masih cukup landai, namun pohon rebah silih berganti harus dilalui. Bisa dipanjati atau berjongkok lewat bawahnya. Tergantung dari selera pendaki..hehehehe.

Hampir sejam saya melalui tanjakan landai dengan berjibaku dengan pohon-pohon tumbang. Sesekali saya harus memanjat diatasnya. Dan terkadang cukup jalan berjongkok jika bisa dilewati oleh badan. Model pijakannya pun sudah perlahan berubah, yang tadinya mulus tak bergelombang berganti gundukan-gundukan yang terbentuk dari akar pohon.
Melalui Jalur Semak Berduri
Tanaman pakis berduri banyak tumbuh disepanjang jalan ini. Beberapa jenis burung-burung dilindungi sering kali hinggap di dahan dan ranting pohon. Sepi rasanya tanpa teman berjalan. Seorang diri ditengah belantara yang asing bagi saya. Meskipun baru pertaman kali ke Puncak Pangrango, namun keyakinan kuat ada dalam diri saya untuk bisa sampai di Puncak.
Jalur Pohon Tumbang
Beberapa kali saya terpaksa berhenti untuk menghela nafas saat sudah melewati beberapa rintangan. Yang terlihat didepan sana masih banyak sisa pohon tumbang yang harus saya lewati. Entah bagaimana pohon-pohon ini bisa rebah di tengah jalan. Sepertinya sudah sejak lama ini terjadi dan terus terjadi. Perjalanan pun terkesan lambat karena melangkah hati-hati saat melewati jejeran kayu melintang ini.

Namun, sudah itulah rintangan dan tantangan di alam bebas. Semuanya seakan sudah menjadi bagian dari proses perjuangan untuk dapat menggapai puncak. Disinilah mental dan fisik pendaki akan teruji. Untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai tentunnya harus dilalui dengan pengorbanan. Setiap gunung mempunyai karakteristik tersendiri. Ketinggian gunung itu relatif dan puncak adalah tujuan namun melewati jalurnya lah yang merupakan proses yang akan memberikan banyak kesan bagi pendaki yang sudah melaluinya.
Melalui Jalur Akar Pohon
Berbeda jauh dengan perjalanan ke puncak gede. Disini sama sekali tidak ada warung. Siapa juga sih mau berdagang disini..?? Praktis susah menemukan tempat datar. Yang ada hanya jalur menanjak yang semakin terjal saja. Sekitar 2 Jam perjalanan. Posisi badan mulai condong kedepan. Ini seiring jalur yang kian miring. Layaknya setengah memanjat. Tangan sesekali berperan membantu pijakan kaki untuk melangkah. Model jalurnya pun mulai bervariasi dan semakin meyulitkan saja. Terkadang ada tanjakan tanpa ada pegangan dan pijakan nyaman. Yang ada hanya rerumputan saja sebagai bantuan menarik badan.

Sesekali bahkan berulang kali saya kebingungan melihat banyak percabangan. Ada yang ke kiri, ke kanan, dan lurus. Saya sempat bingung, karena semua jalurnya terdapat petunjuk arah. Maka kupilihlah satu jalur, dan ternyata ketiga jalur tersebut akan bertemu diatas sana. Cukup banyak saya temui kondisi seperti itu. Diantara pilihan-pilihan jalur tersebut semuanya tidak ada yang menyenangkan. Ada yang memanjat akar, ada yang melewati bekas lorong air, bahkan ada yang sedikit berjongkok.
Pemandangan Puncak Gede dari Hutan Pangrango
Angin tiada henti-hentinya mengibas-ngibaskan dahan-dahan pohon. Perjalanan ini tetap sepi, tanpa ada pendaki satu pun yang kujumpai ditengah jalan. Saat mulai lelah, kusandarkan badan ini di sebuah pohon rindang sambil menatap jauh ke pegunungan. Gorengan yang kubeli kemarin sore menjadi santapan saat itu. Rasanya masih gurih dan sedikit beku. Tak mengapa..yang penting rasa lapar ini hilang.

Entah puncak berapa jauh lagi. Tak ada tempat bertanya.. Yang kulihat diatas sana masih tinggi saja. Jalurnya tetap sama, pohon-pohon tumbang tetap bederet manis ditengah jalan. Perlahan jalannya semakin sempit dengan kemiringan yang lebih terjal. Sempat kubertanya dalam hati…Jangan-jangan aku kesasar…?!?
Pemandangan Puncak Gede dari Hutan Pangrango
Sayup-sayup dari arah lembah kudengar seperti suara teriakan. Entah manusia atau binatang..?? semoga saja suara teriakan pendaki. Namun kecemasan mulai melanda, jikalau suara itu adalah binatang. Karena menurut berbagai info yang kubaca, disekitar puncak pangrango adalah habitat dari Macan Tutul. Hewan-hewan itu ada beberapa yang masih berkeliaran di hutan ini. Kekhawatiran pun mulai melanda,, terlebih lagi berjalan seorang diri. Pastilah ada rasa takut….
Takutlah klo ketemu Macan……Kalau Trio Macan, pasti akan KUTANGKAP mereka…….hahahahahahahhhaha

Terus kuberjalan, tanpa perduli suara apa itu..sampai kudengar seperti suara langkah banyak orang dari arah atas yang sedang turun. Semakin terdengar kencang, dan ternyata mereka adalah pendaki yang baru saja turun dari puncak…

Sendirian Bang…? Tutur salah satu dari mereka….Iya..Sendirian…? Jawabku….Akang teh dari mana…? Sambungnya….dari Sulawesi…balasku…singkat cerita kami pun ngobrol sejenak. Ternyata mereka rombongan mahasiswa dari bandung. Mereka sejak jam 4 pagi sudah ke puncak.

Tak berselang lama, kami pun berpisah…sejak pertemuan dengan rombongan pendaki itu. Silih benganti para pendaki aku jumpai di tengah jalur. Berbagai daerah mereka berasal. Ada yang berdua, bertiga, dan banyak lagi. Tak sempat kuhitung jumlahnya. Rasa gembira pun terpancar dari wajahku. Ternyata saya tidak sendirian di tengah jalur ini. Bahkan menurut mereka masih ada beberapa orang lagi diatas sana.

Seketika itu. Terus kupacu langkahku dengan penuh semangat dan motivasi yang kuat karena puncak sudah tidak jauh lagi. Meski tanjakan semakin ekstreme, aku tidak perduli. Yang ada dibekakku segera sampai di puncak.

Betapa kagetnya saya. Saat melihat sebuah tenda terpasang di pinggir jalur. Aku menghampiri dan memberi salam, tapi tidak ada yang menyahut. Sepertinya pemilik tenda sedang berada di atas. Woow...!!! Berani juga ia menginap di tempat ini. Padahal ditempat ini sangat terbuka dengan terpaan angin yang membabi buta. Entah apa alasan mereka menjauh dari keramaian tenda lainnya di kandang badak. Mungkin saja biar dekat di puncak atau mereka suka suasana sepi…
Beberapa Langkah Terakhir Menuju Puncak
Terus kupacu langkahku sampai tiba di jalur lurus tak mendaki. Sepertinya puncak sudah di depan sana. Dari kejauhan terlihat sebuah menara yang rebah. Kulangkahkan kakiku sambil kegirangan. Dalam hitungan detik tibalah saya di Puncak Pangrango.

Puncak Gunung Pangrango, 3019 MDPL
Sampai juga tapak kakiku di puncak Gunung Pangrango. Sebuah tempat yang penuh dengan cerita dan kisah. Tidak mudah untuk sampai ditempat ini. Butuh keberanian dan tekat yang kuat. Motivasi, kesabaran dan semangat adalah hal yang utama saat menjejali deretan rintangan dan tantangan sepanjang perjalanan tadi. 4 jam lebih waktu tempuh saya dari Pos Kandang badak. Itupun hanya seorang diri. Bagaimana kalau berombongan. Mungkin bisa sampai 5-6 jam untuk tiba disini.
Pemandangan Puncak Gede dari Puncak Pangrango
Begitu gembira dan puas hati ini. Perjalanan tadi sudah terlupakan saat menghirup hawa Puncak Pangrango yang saat itu keras diterpa angin. Terlihat di sebelah selatan, tinggi dan menjulang Puncak Gunung Gede yang kemarin aku sambangi. Begitu tenang dan sepi, tiada keriuhan, tak ada warna warni, tiada teriakan seperti saat di puncak yang jauh di depan sana.

Puncak Gunung Pangrango, 3019 MDPL
Seperti tersembunyi di balik rimbun pepohonan. Di Puncak ini seperti tanpa pemandangan lepas. Hanya puncak gede saja yang bisa terlihat dibalik dahan pepohonan. Namun disini saya bisa lepas bergerak dan berpose sesuka hati. Tidak seperti di puncak gede yang butuh mengantri untuk mengabadikan gambar.

Seperti halnya di Puncak Gede, disini juga terdapat sebuah tugu yang menandakan titik ketinggian. Ditemani dengan sebuah shelter, dan sebuah menara yang sudah roboh. Mereka tetap setia menjaga puncak ini dari kesunyian yang sering melanda. Entah kapan lagi ada yang bertandang. Tidak seperti saudaranya diseberang yang selalu sesak dikunjungi. Namun Pangrango memiliki makna tersendiri bagi pendaki yang telah melewati titian jalurnya.

Aku pun masih sendiri di puncak ini. Rasa puas dan bangga pun terpanjar dari jiwaku. Betapa tidak, perjuangan yang tak mengenal lelah dan tak mengenal tidur sudah kulalui untuk dapat menggapai dua puncak megah di Jawa Barat itu. Ku terbaring di bawah shelter yang disekelilingnya dipenuhi rimbun pepohonan. Kenukmati setiap hembusan rokok di alam puncak yang terus disambar oleh pusaran angin. Ku berhayal lepas, dengan kalimat doa dan zikir seraya memujaMu Sang Khalik.
Bersama Pendaki dari Bandung dan Blitar di Puncak Pangrango
Ku sempat terbaring lama, sampai terdengar suara dari arah bawah. Ternyata dua orang pendaki baru saja naik dari sebuah tempat yang katanya indah di bawah sana. Senang rasanya kuberjumpa pendaki di tempat ini. Singkat cerita, kami pun berkenalan dan ngobrol ringan. Mereka berdua berasal dari Blitar, Jawa Timur. Seperti halnya saya, mereka juga baru pertama kali ke gunung ini.
Puncak Gunung Pangrango, 3019 MDPL
Beberapa saat kemudian muncul lagi dua orang pendaki. Akhirnya ramai juga suasana yang hampir siang itu. Kami pun lepas tertawa dan bercanda sampai akhirnya kami pun berpisah. Dua pendaki dari blitar akan kembali ke Pos Kandang Badak sedangkan kami bertiga masih lanjut bercerita. Dua teman ini berasa dari bandung, mereka adalah mahasiswa Universitas Padjajaran bandung. Mereka juga baru pertama kali ke gunung ini. Setelah berfoto bersama, kami pun bersama-sama turun ke lembah yang menurut cerita adalah saksi sejarah legenda petualang Indonesia. 
LEMBAH MANDALAWANGI
Lembah Mandalawangi - Pangrango
Perjalanan turun landai perlahan dilakukan dengan melewati setapak landai yang rimbun. Terpaan angin belum berhenti sepanjang melalui tanaman-tanaman kerdil ini. Hanya butuh 5 menit saja, tibalah kami di tempat yang sangat menakjubkan.
Lembah Mandalawangi - Pangrango
Sebuah lembah yang sunyi dan sepi. Ia tersembunyi dibalik kemegahan Puncak Pangrango. Ia hanya ditemani pusaran angin yang silih berganti berhembus. Meski tidak seluas Surya Kencana, namun hamparan edelweissnya kian melengkapi panorama rumput menguning di tanah datar ini. Inilah Lembah Mandalawangi. Sebuah lembah yang penuh cerita, punya makna dan menjadi saksi sejarah masa lalu tentang legenda petualang Indonesia "Soe Hok Gie".
Padang Edelweiss di Lembah Mandalawangi - Pangrango
“Mandalawangi Yang Sepi”,,,,,,,merupakan salah satu bait dalam puisi yang sangat melegenda yang menceritakan tentang keindahan Gunung Pangrango dan Lembah Mandalawangi. Cerita tentang keresahan jiwa dan kedamaian hati dituliskan dalam sajak-sajak yang penuh untaian makna.
Lembah Mandalawangi - Pangrango
Tidak seperti di Surya Kencana, Mandalawangi begitu sunyi dan sepi. Hanya desiran angin yang mengisi ruang senyap di siang itu. Bunga-bunga edelweiss sedang mekar-mekarnya, terhampar di seluruh sisi Mandalawangi. Tesembunyi ia berada disini. Jauh dari hiruk pikuk keramaian para petualang. Biarlah ia tetap abadi……sebagai beranda Puncak Pangrango.

Begitu banyak cerita yang tidak bisa saya uraian saat perjalanan di Gunung ini. Pangarango dan Mandalawangi memberikan saya banyak kesan mendalam. Banyak nilai-nilai dan filosofi seorang petualang aku dapatkan disini. Menuju ke puncak ini, tidak hanya sekedar mendaki semata. Dengan tekad dan kesabaran Insya Allah tujuan akan tercapai.

Allah SWT begitu banyak memberikan anugerah. Keindahan alam, Puncak-puncak tertinggi, Alam raya yang luas adalah sebuah nikmat yang harus terus kita pelihara untuk generasi selanjutnya. Terima Kasih untuk Puncak Ke – 19. Semoga Langkah Kakiku, akan menuntunku kembali lagi kesini. Amin Ya Robbal Alamin...
Baca Juga : Pendakian Sebelumnya << Gunung Gede >>




Penulis : Muhammad Dagri Nizar

Baca Juga :
Gunung Agung Gunung Balease Gunung Bawakaraeng
Gunung Lompobattang
Gunung Latimojong Gunung Mekongga
Gunung Ciremai Gunung Semeru Gunung Rinjani
Gunung Slamet Gunung Sindoro Gunung Tambora
Gunung Sumbing Gunung Tolangi Gunung Welirang
Gunung ArjunoGunung GedeGunung Pangrango

2 comments:

  1. Lembah Mandalawangi.....penuh dengan cerita dan kenangan....

    ReplyDelete
  2. Gede Pangrango....Gunung paling ramai pendaki di Indonesia......Jalurnya ngantriiii.....saking banyaknya pendaki....

    ReplyDelete

Flag Counter